Jakarta (ANTARA News) - Hari Jumat (4/3) pekan lalu, pesan broadcast
tentang sakitnya Bacharuddin Jusuf Habibie (selanjutnya disingkat
Habibie), saya terima dari keluarganya dan banyak forum di media sosial.
Para member Whatsapp (WA) dan pegiat media sosial cepat sekali
membroadcast kabar sakitnya Presiden Ketiga itu, sembari disertai ucapan
doa untuk kesembuhannya. Bahkan ada yang disertai dengan uraian kembali
atas prestasi dan kontribusi Habibie bagi bangsa ini.
Kabar membaiknya Habibie pada Sabtu (5/3) sore juga demikian,
penyebarannya nyaris secepat kabar sakitnya. Foto Habibie yang
mengenakan peci tersenyum di tempat pembaringan di Paviliun Kartika
RSPAD dan saat makan siang, saya terima bukan dari keluarga dan
orang-orang terdekatnya.
Selain melalui WA group, perbincangan di media sosial juga demikian.
Kedekatan harapan dan kepentingan publik terhadap khabar kesehatan
Presiden Ketiga yang 25 Juni nanti genap 80 tahun ini begitu tinggi.
Dalam jurnalistik, kedekatan (proximity) merupakan salah satu unsur
penting dalam sebuah pemberitaan.
Kedekatan publik terhadap kabar kesehatan Habibie ini menarik. Pada
sisi prestasi dan sumbangsihnya buat bangsa, Habibie menjadi pencilan
(outlier), bukan sebaran normal, dalam istilah statistik. Sebagai bagian
dari warga yang masuk pada sebaran normal pun, kita merasa dekat dengan
beliau.
Harapan (hope) tentang kemandirian teknologi, prestasi di kancah
internasional, kepemimpinan penuh integritas, dan bagaimana Habibie
meraih semuanya menjadi inspirasi bagi kita semua.
Bahkan, banyak keluarga merindukan anak-anaknya seperti Habibie.
Bukan lantaran prestasi akademik dan profesinya sebagai pakar dirgantara
terkemuka di dunia semata, melainkan juga kebersihan dan moralitas
hidupnya. Nyaris tanpa cela.
Belakangan, Ainun-Habibie, buku yang sebenarnya ditulis sebagai
therapy dari dokter atas perasaan Habibie lantaran kehilangan Ainun,
telah menjadi salah satu buku best-seller dan telah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa asing. Film Ainun-Habibie pun telah menjadi pemegang
rekor baru dalam sebuah tayangan bioskop nasional, di atas 6 juta
penonton.
Inspirasi Habibie telah menjadi memori kolektif kita. Rasanya,
setelah 18 tahun Reformasi, kita merindukan kisah-kisah yang
membangkitkan harapan, sebagaimana Habibie terus menjadi kisah hidup
yang membangkitkan harapan bagi banyak diantara kita.
Sejatinya, peran-peran keteladanan dari semua mantan presiden,
pahlawan nasional dan para pemimpin di masyarakat terus dikumandangkan
agar menjadi memori kolektif bagi generasi baru.
Kekurangan setiap pemimpin pada masanya dapat ditempatkan secara
proporsional dalam konteks pelajaran (lesson learned), sebagai
pembelajaran agar kita tak mengulanginya. Perilaku dan bahkan budaya
respek pada setiap sumbangsih mereka yang telah teruji dalam sejarah
negeri ini dikuatkan.
Belajar dari banyak sejarah perubahan perilaku bahkan budaya
bangsa-bangsa modern dalam tiga puluh tahun terakhir, setidaknya
bagaimana Korea Selatan saat dipimpin Park Chung Hee, Tiongkok saat
dipimpin Deng Xiao Ping, Malaysia saat dipimpin Mahathir Muhammad, dan
Singapura dipimpin Lee Kuan Yew, penulis melihat pembentukan memori
kolektif masyarakat ini bersifat lentur dan dapat dibentuk dengan
komitmen semua, negara dan masyarakatnya. Apapun pilihan sistem
ketatanegaraannya.
Negara menghadirkan kepastian hukum dan aturan disertai keteladanan
para pengelolaanya. Selebihnya masyarakat antusias melakukan perubahan
pada dirinya. Ketuhanan menjadi akarnya.
Turki sebenarnya juga menerbitkan harapan, sebelum perbedaan
pandangan antara pemimpin formal Reccep Erdogan dan pemimpin spiritual
Fethullah Gullen pada 2012. Sebelum itu, Turki mengalami transformasi
yang luar biasa.
Indonesia memiliki simpul pembelajarannya sendiri. Pandangan pribadi
penulis, kita bisa membangun memori kolektif atas apa yang telah
disumbangkan oleh para pemimpin bangsa ini sebelumnya.
Kepemimpinan Soekarno banyak mengisahkan bagaimana fondasi Bhineka
Tunggal Ika dibangun dan tata dunia baru diperjuangkan, Soeharto
memimpin dengan efektif dan hands-on dalam pembangunan ekonomi dan
stabilitas keamanan, BJ Habibie dengan pembangunan sumberdaya manusia
dan kemandiran teknologi, Gus Dur dengan penghargaan terhadap
pluralisme, Megawati meletakkan landasan sistem anti korupsi dan gerakan
kembali bergotong royong, dan SBY memimpin Indonesia lolos dari ancaman
krisis global kedua, memerangi perilaku korupsi dan membawa Indonesia
lebih terhormat pada pentas dunia.
Memori baru akan menimbulkan harapan baru bila disertai dengan
contoh perilaku dari para pemimpin saat ini. Memori itu akan membentuk
memori dan perilaku masyarakat yang baru bila disertai dengan perubahan
gaya hidup pada semua lingkungan masyarakat. Begitu sebaliknya.
Karenanya, semakin banyak memori yang baik, semakin kuat harapan
masyarakat terhadap perilaku yang selaras, sehingga dengan sendirinya
masyarakat akan menolak perilaku yang bertentangan dengan memori itu,
apalagi bila disertai dengan penegakan hukum atau aturan yang konsisten
dari lingkungan. Malah, seringkali sanksi sosial biasanya akan lebih
efektif, ketimbang sanksi hukum sekalipun.
Sebagai contoh, dalam disiplin eksekusi strategi pada manajemen
perubahan dalam perusahaan, para manajer dan supervisor lebih nyaman dan
efektif bila sesi review kinerja mingguan dilakukan bersama-sama dalam
satu group oleh "peer group", termasuk menyepakati sanksinya bila ada
yang tak mengerjakan pekerjaannnya. Perubahan menjadi menyenangkan,
tidak menakutkan, karena semua merasa memiliki.
Contoh di masyarakat, Ibu-ibu di Rumah Pemberdayaan (Baitut Tamkin)
di Sentul Bogor, Tasikmalaya, dan Lombok lebih takut ngemplang utang
kepada kelompoknya ketimbang kepada lembaga keuangan yang membiayainya.
Tak heran NPF-nya dibawah skor 1, jauh di bawah performa pembiayaan
macet lembaga keuangan lainnya.
Boleh jadi, penerapan sanksi sosial terhadap pelanggar lalu lintas
dan hukum atau aturan lainnya termasuk perilaku korupsiakan lebih
efektif, selain sanksi hukum.
Kembali ke Habibie. Inspirasi atas prestasi dan sumbangsihnya,
sebagaimana diuraikan pada awal tulisan ini adalah merawat memori
masyarakat, membela dan memperjuangkan harapan-harapan yang baik bagi
negeri ini.
Saya teringat pada perbincangan dengan beliau pada suatu pagi
sembari menikmati sarapan di sebuah hotel di Jeddah (Saudi Arabia) pada
Desember 2015. Saat itu kami menemani beliau menghadiri Sidang Tahunan
IIFTIHAR (International Islamic Forum for Science, Technology, and Human
Resource Development), organisasi yang masih aktif dipimpinnya hingga
saat ini sejak tahun 1996.
Saat itu saya bertanya, "Apa impian Pakde yang belum sampai?".
Panggilan Pakde kepada beliau adalah panggilan untuk generasi seumur
anak-anaknya, Ilham dan Thareq.
Beliau menjawab, "Saya lebih senang menggunakan istilah visi,
daripada impian," ujarnya sembari tersenyum. "Sebab impian sering
disalah artikan sebagai sesuatu yang tak diperjuangkan, datang dari
usaha tak sadar sembari tidur. Visi adalah usaha sadar, diperjuangkan,"
ujarnya berbinar-binar.
"Kita harus terus memperjuangkan kemandirian bangsa dalam semua
bidang.Kita tak boleh lelah memperjuangkannya," katanya. "Kita harus
melawan ketertinggalan dan kemiskinan," jelasnya.
Banyak hal dari perbincangan itu yang saya catat kala itu, termasuk
kekagumannya pada empat orang inspiratornya; Soekarno, Soeharto,
Soemitro, dan Widjojo Nitisastro serta momen-momen paling berkesan dalam
hidupnya bersama Ainun, belahan jiwanya.
Habibie merawat memorinya yang baik terhadap negeri ini, dan terus memperjuangkannya.
Pesan yang jelas buat saya, saya yakin juga Anda. Berbuat nyata pada
lingkar pengaruh keluarga, lingkungan sekitar, unit kerja, organisasi,
lingkar profesi, dan masyarakat secara bertingkat. Lingkar pengaruh
membesar, menjadi gerakan perubahan.
Karenanya, memori kolektif yang berubah menjadi perilaku nyata bakal
menjadi gerakan dengan sendirinya. Semua berpikir dan bersikap nyata,
bukan menanti orang lain, melainkan panggilan hati dan pikiran untuk
terlibat, berbuat, dan tak lelah memperjuangkan harapannya.
Itulah Revolusi Mental yang saya pahami, dari yang dinyatakan
Presiden Joko Widodo (2014), melanjutkan ajakan serupa dari Bung Karno
(1957). Agar kemerdekaan itu bukan kata-kata, melainkan kedaulatan dalam
bidang politik, kemandirian ekonomi dan keperibadian dalam kebudayaan.
Ajakan Habibie jelas, agar memori kolektif kita terus berfokus pada
visi dan usaha mewujukannya dengan sadar dengan sikap dan perbuatan
nyata, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat yang dengan
sendirinya mempengaruhi perilaku sosial kita sebagai warga. Heart, head,
dan hand.
Merawat visi, bertindak fokus pada proses, ikhtiar yang tak boleh lelah. Insya Allah visi akan sampai.
Selamat memulai pekan yang lebih produktif, kesempatan melakukan
dengan cara yang berbeda juga terbentang di depan kita, sebab
kemerdekaan atas waktu juga milik kita semua, bukan hanya Habibie.
Change. Now.
*) Penulis adalah Change Partner pada Strategic Actions dan Direktur
Utama Perum LKBN ANTARA periode 2007-2012. Twitter: @mukhlisyusuf
Memori Habibie, Memori Kolektif Kita
Senin, 7 Maret 2016 19:14 WIB