Jakarta (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
mendesak Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat untuk segera mengusut
pelaku kekerasan yang menimpa jurnalis Kompas TV, Muhammad Guntur saat
meliput unjuk rasa di dekat Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat,
Jumat (4/11) lalu.
AJI Jakarta mengecam sejumlah pengunjuk rasa yang mengintimidasi,
memukul, menghapus gambar, dan merampas "memori card" jurnalis Kompas TV
tersebut.
"Kekerasan dan intimidasi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Tindakan-tindakan anti kebebasan pers itu tidak bisa dibiarkan. Harus
dilawan. Kami mendesak polisi untuk mengusut pelakunya sampai diajukan
ke pengadilan," kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim dalam keterangan
tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Kekerasan itu bermula saat kamerawan Guntur dan reporter Kompas TV
sedang siaran langsung merekam aksi saling dorong antara pengunjuk rasa
dan polisi di depan Gedung Mahkamah Agung sekitar pukul 18.30 WIB.
Tidak terima diambil gambarnya, mereka meminta Guntur mematikan kameranya dan menanyakan dari media mana.
Kejadian berlangsung cepat kemudian Guntur digelandang di tengah
massa, dipukuli kepalanya, dihapus gambarnya, dan dirampas "memori
card"-nya serta kabel alat untuk live juga diputus.
Sementara kartu pers milik Guntur juga dirampas oleh pengunjuk
rasa. Kekerasan itu berhenti setelah polisi melindungi Guntur.
Saat ini, Guntur telah melaporkan tindakan para pengunjuk rasa
tersebut ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat. Tindakan para pengunjuk rasa
itu bukan hanya merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam
KUHP, tapi juga melanggar Undang-Undang Pers.
Selain kasus jurnalis Kompas TV, di saat bersamaan di lokasi yang
berbeda seorang jurnalis perempuan Kompas.com juga diintimidasi saat dia
meliput unjuk rasa yang menuntut Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki
Tjahaja Purnama diproses hukum dalam kasus dugaan penistaan agama.
Beberapa pengunjuk rasa sempat menggeledah Kartu Tanda Penduduk
jurnalis perempuan ini dan menanyakan agamanya. Intimidasi ini membuat
jurnalis ini tidak leluasa meliput unjuk rasa tersebut.
Menurut AJI Jakarta, tindakan para pengunjuk rasa tersebut jelas melanggar hukum dan mengancam kebebasan pers.
Padahal, kata dia, jurnalis yang sedang meliput dilindungi oleh undang-undang untuk menyajikan fakta kepada publik.
Oleh karena itu, AJI Jakarta mendesak Kepolisian Resor Jakarta Pusat
untuk segera mengusut kekerasan yang menimpa jurnalis Kompas TV ini
sampai tuntas sehingga pelakunya dihukum oleh pengadilan.
"Hukum harus ditegakkan agar ada keadilan dan memberikan efek jera
kepada pelaku serta pendidikan kepada masyarakat," ucap Nurhasim.
Menurutnya, apabila tidak diusut sampai tuntas, akan memberikan
pelajaran buruk bagi masyarakat dan menyuburkan kekerasan terhadap pers.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick
Tanjung mengatakan selain pelaku bisa dijerat pasal pidana yang merujuk
pada KUHP, Pasal 18 Undang-Undang Pers juga bisa ditambahkan untuk
menjerat pelaku.
Pasal ini menyatakan, siapa pun yang secara melawan hukum dengan
sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik diancam
hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.
"Pelakunya harus diusut. Polisi harus serius mengusut kasus
kekerasan yang menimpa jurnalis, apalagi ini terjadi di depan Istana
Negara," kata Erick.
Sebagai catatan, kata dia, sampai saat ini kasus-kasus kekerasan
yang menimpa jurnalis di Jakarta dan dilaporkan ke kepolisian jarang
sekali sampai ke pengadilan dan pelakunya dihukum.
Pihaknya mengimbau para jurnalis untuk tetap bekerja secara
independen, menaati Kode Etik Jurnalistik, dan menjaga keselamatan saat
meliput unjuk rasa yang melibatkan massa besar. (*)
AJI Desak Kepolisian Usut Kekerasan Jurnalis pada 4 November
Senin, 7 November 2016 9:59 WIB