Demokrasi, sistem politik yang berdasarkan parameter historis dianggap
paling sedikit sisi buruknya itu, barang kali tak akan pernah final
dalam menyelesaikan persoalan keseharian yang berdimensi politis.
Salah satu perkara yang tak bisa dituntaskan dalam berdemokrasi
adalah hal-hal yang bersangkut paut dengan perasaan. Perasaan individu
yang satu dengan yang lain kurang lebih sama dalam menyikapi suatu
peristiwa, namun ada kalanya berbeda dalam memandang kejadian serupa.
Pasal-pasal hukum yang mengatur jalannya demokrasi tentu tak bisa
komplit komprehensif mengatur perkara perasaan. Sebagai contoh: perasaan
tersinggung sering kali punya nuansa antara individu yang satu dengan
yang lain.
Di era ketika suatu bangsa di bawah kuasa tiran bertangan besi,
warga negara cenderung hidup dalam perasaan ketakutan. Mereka ini tak
leluasa menyatakan pikiran mereka tentang sang tiran. Kenapa? Sebab
seorang tiran yang tersinggung oleh penilaian warga, tamatlah riwayat si
penilai itu.
Seringkali warga yang menyinggung perasaan sang tiran akan mendapat
ganjaran siksaan fisik atau penganiayaan. Jelas hukuman ini begitu jauh
melebihi kesalahan warga yang pemberani itu, kesalahan dalam bentuk
ungkapan kata-kata.
Itu beda dengan era ketika demokrasi menjadi bingkai berdemokrasi
di mana pemimpin demokratis memperlakukan para pengkritiknya. Sang
demokrat dituntut untuk tak mudah tersinggung karena pasal-pasal hukum
yang mengatur jalannya demokrasi memang tak dengan gampangnya memberi
ruang bagi pemimpin publik untuk menghukum warga yang mengkritiknya.
Namun, sayangnya, masih ada pasal-pasal yang mengatur pencemaran
nama baik dalam praktik demokrasi. Akibatnya, sejumlah lawan politik
yang mengungkapkan pikirannya dengan mencemooh seorang pemimpin bisa
dikenakan pasal pencemaran nama baik itu.
Hal itu yang mengakibatkan ada semacam perbedaan cara menanggapi
cemooh atau kritik atau penilaian negatif dari figur pemimpin demokratis
dan aparat penegak hukum yang bekerja berdasarkan pasal-pasal hukum.
Fenomena itu bisa ditengok pada perkara yang mucul akibat
penerbitan buku "Jokowi Undercover", yang berisi uraian yang menohok
Presiden Joko Widodo. Kepada wartawan, Jokowi memperlihatkan bahwa dia
tak berminat mengomentari buku itu. Publik dipersilahkan membacanya dan
menilai isinya.
Dengan kata lain, Jokowi tak bawa-bawa perasaan, tak merasa
tersinggung, tak merasa ternista, tak merasa tercemarkan oleh buku yang
oleh sejumlah pengamat dianggap tak ilmiah itu.
Namun, polisi memperkarakan penulisnya. Tentu saja pasal pencemaran
nama baik menjadi salah satu argumen di balik penanganan kasus itu.
Dalam pandangan pengamat politik sekaligus pakar etika Franz Magnis
Suseno SJ, hukum memang harus menindak siapapun yang menghina dan
mencemarkan nama baik seseorang, tak peduli presiden atau orang biasa.
Dengan demikian, penulis buku yang menghina Jokowi itu perlu diadili
berdasarkan pasal-pasal hukum yang berlaku.
Namun, ada pandangan yang lain, yang berseberangan dengan opini
pastor kelahiran Jerman itu. Pandangan ini berargumen bahwa pikiran,
kata-kata tak bisa dijadikan alat bukti untuk menghukum pelaku.
Kata-kata tidaklah sama dengan pedang atau batu.
Orang yang mengayunkan pedang dan mengenai tubuh orang lain harus
dihukum. Tapi orang yang mengutarakan kata-kata dan melukai perasaan
orang lain tak bisa diadili.
Masalahnya, orang bisa berpura-pura terluka oleh kata-kata yang
menyinggung perasaan. Tapi sabetan pedang tak perlu lagi diperdebatkan
konsekuensi fisiknya.
Atas dasar argumen itu, demikian penganut pendapat mereka yang
menampik kriminalisasi kata-kata, semua ucapan seseorang yang dinilai
menghina atau mencemarkan nama baik orang lain tidaklah perlu diproses
di pengadilan.
Pernyataan politisi, ulama, mahasiswa yang nyleneh tentang berbagai
hal yang selama ini disakralkan secara politik tak perlu dijadikan
alasan untuk menyeretnya ke meja hijau.
Presiden Jokowi memberikan keteladan yang jelas dalam konteks
masalah ini. Berapa banyak netizen yang anti-sang presiden yang
mengungkapkan perasaan tak suka dan memperolok-olok sang presiden lewat
berbagai akun-akun media sosial.
"Aku rapopo" yang menjadi senjata demokratis Jokowi dalam
menghadapi perang kata-kata agaknya bisa dipandang sebagai refleksi
bahwa faktor perasaan memang sebaiknya dilepaskan dari delik hukum.
Namun, tentu saja ada batas-batas yang tak bisa ditoleransi demi
menjaga tegaknya demokrasi itu sendiri. Apa itu? Pernyataan hasutan atau
provokasi untuk melukai, membunuh orang, merusak, menjarah harta orang
dan ajakan beranarkhi.
Tentu tak semua hasutan dan provokasi perlu ditangani secara hukum
sebab hanya tindakan yang berpotensi melahirkan luka, terbunuhnya
seseorang atau kerusakan atau kerugian harta orang lain yang layak
diproses secara hukum.
Demokrasi yang teruji adalah demokrasi yang tak banyak diatur oleh
undang-undang. Publik yang dewasa dalam mempraktikkan demokrasi tak akan
sedikit-sedikit beperkara karena merasa tersinggung.
Dengan demikian, warga pun belajar untuk menjadi pelaku demokrasi
yang bermartabat dengan tidak gampang mengumpat, mengolok-olok, melukai
perasaan lawan politik mereka.
Senyampang ini, publik di jagat media sosial di Tanah Air agaknya
masih dalam taraf menuju ke arah demokrasi yang ideal itu, yakni menjadi
warga yang bermartabat yang tak gampang menistakan, menghina dan
merendahkan martabat lawan politik.
Jadi, jika saat ini masih ada warga negara di dunia maya atau
netizen yang mengolok-olok dan menertawakan orang lain dengan seenaknya,
pantaslah bagi yang sudah tercerahkan untuk memandang semua itu dengan
lapang dada. (*)
Perasaan dalam Praktik Demokrasi
Senin, 30 Januari 2017 11:58 WIB